Wednesday, December 30, 2020

MENGAPA KAU CULIK ANAK KAMI? Karya Seno Gumira Ajidarma

  

Lakon

Mengapa Kau Culik Anak Kami?

Karya Seno Gumira Ajidarma

Sandiwara tiga babak
 
 
KETERANGAN:

Naskah ini diketik ulang oleh Leebirkin dari buku

“Mengapa kau culik anak kami?” karya Seno Gumira Ajidarma (SGA).

Diterbitkan oleh Galang Press, Yogyakarta (2001). Hak cipta milik SGA dan Galang Press.

 

Naskah sandiwara ini boleh dipentaskan tanpa izin penulis dan tanpa royalti, selama tidak menjual tiket. Royalty buku dan pementasan yang merupakan hak penulis, disalurkan pada korban kekerasan Negara.

 

BABAK PERTAMA

 

Jam Westminter berdentang 10 kali Dari jendela tampak bulan separuh

 

SEGALANYA HITAM DI PANGGUNG ITU. LANTAI HITAM, LAYAR HITAM, SEGALANYA HITAM – BAHKAN JUGA MEJA DAN KURSI. SEGALANYA MEMANG HITAM, TAPI DUA SOROT LAMPU PUTIH MASING-MASING MENERANGI BAPAK DAN IBU. MEREKA SUDAH BERUSIA PARUH BAYA, SEKITAR 50 AN. BAPAK MENGENAKAN KAOS OBLONG PUTIH DAN SARUNG. IBU MENGENAKAN KAIN DAN KEBAYA SUMATERA.

 

BAPAK BERSANDAL KULIT SILANG, IBU BERSELOP TUTUP. BAPAK MENONTON TV. IBU MEMBACA BUKU. BAPAK MEMENCET REMOTE KONTROL. BERDECAK-DECAK SEBAL, LANTAS MEMATIKANNYA. SUASANA SEPI.

 

MUSIK BLUES FADE IN. LAMPU MEREDUP. BAPAK MELAMUN. IBU MASIH MEMBACA. MUSIK BLUES FADE OUT. LAMPU TERANG.

 

BAPAK

Bu….

 

IBU

Ya….

 

BAPAK

Baca buku apa sih?

 

IBU (Sambil membaca sampulnya)

Oh, ini buku baru: Cara Melawan Teror

 

BAPAK

Apa katanya?


IBU

Baru juga mulai baca. Belum tahu isinya. Habis diajak ngomong terus sih!

 

BAPAK

Yah, di sampul belakang kana da kecapnya.

 

IBU (Melihat sampul belakang)

Apa ya katanya?

 

(Membaca)

 

Buku ini perlu dibaca penduduk Negara-negara yang akan hancur, karena dalam masyarakat seperti itu kendali hukum sangat mengendor, tatanan nilai kabur, sehingga melahirkan anarki. Setiap orang berbuat seenak perutnya sendiri dan memaksakan kehendaknya dengan teror . itulah gunanya buku ini: Cara Melawan Teror. Perlu dibaca oleh mahasiswa, aktifis, wartawan, penasehat hukum dan berbagai profesi yang rawan terror. Buku ini juga berguna bagi siapa saja yang merasa perlu lebih siap melawan teror.

 

BAPAK

Untuk apa kamu baca itu?

 

IBU

Lho, bapak ini bagaimana sih?

 

BAPAK

Bagaimana apa?

 

IBU

Baru setahun kok sudah berusaha lupa.

 

BAPAK

Apa?

 

IBU

Keterlaluan

 

BAPAK

Ada hubungannya dengan buku itu?

 

IBU

Ya jelas dong!

 

BAPAK

Ca-ra-me-la-wan-te-ror. Apa yang kulupakan ya?

 

IBU

Pikir sendiri

 

BAPAK

Aku malah inget yang lain.


IBU

Apa?

 

BAPAK

Buku itu menyatakan seolah-olah Negara kita sudah hancur.

 

IBU

Memang sudah hancur, bagaimana!

 

BAPAK

Begitu ya bu?

 

IBU

 

Wah, aku nggak mau jadi analis politik amatiran. Bapak saja yang ngomong.

 

BAPAK

Aku juga sebetulnya tidak tahu apa-apa, bu!

 

IBU

Tapi yang satu itu tidak boleh lupa.

 

BAPAK

Apa?

 

IBU (Hanya melihat ke arah Bapak)

 

BAPAK

Tidak boleh lupa?

 

IBU

Tidak boleh.

 

BAPAK

Kalau lupa?

 

IBU

Kalau bapak lupa, artinya sengaja melupakannya. Itu juga berarti bapak ikut berdosa.

 

BAPAK

Waduh, menyangkut dosa lagi! Gawat sekali rupanya. Aku paling malas berdosa.

 

IBU

Paling malas berdosa!?

 

BAPAK

Iya.

 

IBU


Ah, yang bener….

 

BAPAK

Iya! Kamu tidak percaya?

 

IBU

Kayaknya bapak selalu lupa deh dengan dosa-dosa bapak yang terbesar. Toh semua itu aku bisa maafkan. Tapi tidak untuk yang satu ini.

 

BAPAK

Aneh. Aku bisa lupa dosa-dosaku. Tapi yang satu ini tidak boleh lupa. Kalau lupa, itulah dosa yang terbesar.

 

IBU

Makanya, jangan berlagak pikun

 

BAPAK

Jadi, apa?

 

IBU

Lho!

 

BAPAK

Aduh! Manusia itu kan pelupa Bu! Masa aku tidak boleh lupa!?

 

IBU

Yah, manusia pelupa, manusia cepat lupa, apalagi yang menyangkut dosa.

 

BAPAK

Gawat-gawat sekali. Apa yang kulupakan selama ini?

 

IBU

Oalah pak, pak. Kita memang tidak pernah membicarakannya selama ini. Tapi itu tidak berarti kita boleh melupakannya.

 

BAPAK

Wah, apa ya? Kamu bilang tadi, ada hubungannya dengan cara melawan teror

 

IBU

Sebetulnya bapak inget.

 

BAPAK

Tidak. Aku sungguh-sungguh lupa.

 

IBU

Gawat.

 

BAPAK

Apa ya? Kenapa begitu gawat?


IBU

Karena melupakannya adalah dosa besar.

 

BAPAK

Kita harus mengingatnya?

 

IBU

Ya.

 

BAPAK

Kita harus membicarakannya?

 

IBU

Ya. Kalau perlu sengaja memperingatinya.

 

BAPAK

Tidak mikul dhuwur mendem jero? Melupakan yang buruk mengingat yang baik?

 

IBU

Nggak usah!

 

BAPAK

Waduh! Gawat!

 

IBU

Kenapa?

 

BAPAK

Aku tidak ingat

 

IBU

Jadi, semuanya ini ada hubungannya dengan terror!

 

BAPAK

Terror!

 

IBU

Ya! Terror!

 

BAPAK

Te-ror….

 

IBU

Ya. Te-ror….

 

BAPAK

Te-ror-te-ror-te-ror….hmmm….

 

IBU (Melihat dengan wajah kesal)


BAPAK

Aku belum ingat apa yang ada hubungannya dengan kita. Tapi kalau mendengar kata itu, aku jadi ingat apa yang terjadi pada zaman geger-gegeran dulu itu.

 

IBU

Itu juga belum lama.

 

BAPAK

Tapi semua orang sudah lupa.

 

IBU

Pura-pura lupa.

 

BAPAK

Buku sejarah saja tidak mencatatnya.

 

IBU

Itu dia. Dosa orang lain dicatat besar-besaran. Dosa sendiri menguap entah kemana.

 

BAPAK

Hmmm. Rumit ya Bu?

 

IBU (Berdiri, berjalan ke jendela)

Sebetulnya tidak. Semuanya jelas. Siapa yang bisa melupakannya? Aku masih kecil waktu itu. Malam- malam semua orang berkumpul. Mereka membawa golok, clurit, pentungan dan entah apa lagi. Mereka mengepung rumah itu selepas tengah malam. Mereka berteriak-teriak, karena yang dicarinya naik ke atas genteng. Orang itu lari dari atap satu kea tap lainnya seperti musang. Kadang-kadang dia jatuh, merosot. Orang-orang mengejarnya juga seperti nengejar musang. Aku masih inget suara gedebugan di atas genteng itu. Orang-orang mengejar dari gang ke gang, suaranya juga gedebukan. Mereka berteriak-teriak sambil mengacungkan parang. Orang itu lari. Terpeleset, hamper jatuh ke bawah, merayap lagi. Sampai semua tempat terkepung. Orang itu terkurung….

 

BAPAK

Sudahlah bu! Sudah lebih dari tiga puluh tahun.

 

IBU

Aku tidak bisa lupa. Bukan hanya karena kejadian yang dialami orang itu, tapi apa yang dialami keluarganya. Dia punya anak, punya istri, punya ibu. Semua melihat dia dikejar seperti musang. Melihat dengan mata kepala sendiri orang itu merosot dari atas genteng ketika terpeleset dan tidak ada lagi yang bisa dipegang. Orang-orang di bawah menunggunya dengan parang.

 

BAPAK

Bu!

 

IBU

Orang-orang itu menghabisinya seperti menghabisi seekor musang. Orang itu digorok seperti binatang. Ibu menutupi mataku. Tapi aku tidak bisa melupakan sinar matanya yang ketakutan. Aku masih ingat sinar mata orang-orang yang mengayunkan linggisnya dengan hati riang. Kok bisa? Kok bisa terjadi semua itu. Bagaimana perasaan anaknya mendengar jeritan bapaknya? Bagaimana perasaan istri mendengar jeritan suaminya? Bagaimana perasaan ibu mendengar jeritan anaknya?


Apa bapak yakin setelah tiga puluh tahun lebih mereka bisa melupakannya? Mereka mungkin ingin lupa. Tapi apa bisa? Politik itu apa sih, kok pakai menyembelih orang segala?

 

BAPAK

Untuk apa kamu mengingat-ingat ini semua?

 

IBU

Itulah pertanyaanku juga. Untuk apa? Tapi aku tidak sengaja mengingat-ingat. Aku ingat begitu saja. Kenangan itu menempel seperti lintah. Dia lewat seperti kenangan.

 

BAPAK

Kenangan buruk.

 

IBU

Mimpi buruk

 

BAPAK

Sejarah

 

IBU

Itulah dia pak. Sejarah. Sejarah itu ada. Hidup terus sampai hari ini.

 

BAPAK

Waktu

 

IBU

Waktu itu aku tidak tahu kalau sekolah libur. Aku berangkat ke sekolah. Ketika sampai di kelas, aku Cuma mencium bau amis darah. Darah orang-orang yang disiksa menyiprat di tembok, papan tulis dan bangku-bangku. Di mana-mana orang bergerombol, berteriak-teriak, mencari orang-orang yang diburu.

 

BAPAK

Wak-tu

 

IBU

Begitu buruk. Begitu mengerikan. Tapi mengapa kita sekarang mengulanginya?

 

BAPAK

Satria!

 

IBU

Itulah. Bapak ini belum begitu tua kok sudah berusaha pikun. Tidak baik begitu pak. Kalau kita melupakan kekejaman, kita akan mengulanginya.

 

BAPAK

Aku Cuma ingat bagaimana orang-orang menjauh ketika semua itu menimpa kita. Orang yang malang malah dijauhi. Ada yang bilang. “Sorri aku baru menelpon sekarang, ini pun dari telepon umum, karena aku takut teleponku disadap, aku harap semuanya baik-baik saja. Sorry, aku takut, aku punya anak kecil soalnya” hmmmh. Saudara-saudara menjauhi semuanya. Takut, seperti kita ini punya penyakit sampar.


IBU

Habis begitu memang begitu caranya menilai. Pikiran kok dianggap menyatu dengan darah.

 

BAPAK

Cara berpikir apa itu ya?

 

IBU

Cara berpikir orang bego!

 

BAPAK

Bego tapi berkuasa.

 

IBU

Begitu berkuasanya sehingga merasa berhak menguasai pikiran, dan sangat tersinggung kalau orang berpikir lain.

 

BAPAK

Sangat tersinggung.

 

IBU

Sangat tersinggung. Maka mengamuklah dengan pentungan, penangkapan, penculikan dan penganiayaan.

 

BAPAK

Kekuasaan yang kerdil.

 

IBU

Kerdil.

 

BAPAK

Kerdil.

 

TELEPON BERDERING. BAPAK MENGANGKAT TELEPON

 

BAPAK

Hallo! Ya? Salah! Salah sambung! Ini Cikini, bukan Jurang Mangu. Tidak apa-apa. Selamat malam.

 

IBU

Terror lagi?

 

BAPAK

Bukan. Memang salah sambung.

 

IBU

Dulu Satria sering diteror lewat telepon

 

BAPAK

Ya, aku tahu. Aku juga sering diteror, dikira Satria.


IBU (setelah jeda)

Ah, Satria. Satria….

 

LAMPU MEREDUP

 

 

 

 

 

 

BABAK KEDUA

 

Jam Westminter berdentang 11 kali Dari jendela tampak bulan sabit

 

IBU

Mbok!

 

BAPAK

Dulu itu namanya pencidukan

 

IBU

Mbok!

 

BAPAK

Rumah-rumah disatroni, penghuninya diambil, lantas dibawa entah kemana. Biasanya sih mereka tidak pernah kembali.

 

IBU

Mbok!

 

BAPAK

Diciduk! Itu istilahnya. Diciduk.

 

IBU

Mboook!

 

BAPAK

Nah, sekarang aku sudah ingat, tapi rupanya kamu yang jadi pelupa bu, memanggil si mbok dari tadi. Si mbok itu kan tiap malam jum;at kliwon pergi ke kali, membakar kemenyan.

 

IBU (Menampar jidatnya sendiri)

Ah iya, aku yang lupa sekarang.

 

BAPAK

Padahal kamu dulu yang cerita

 

IBU


Cerita apa?

 

BAPAK

Masih lupa? Kata kamu, si mbok itu waktu masih muda sebenarnya pemain ludruk.

 

IBU (Melanjutkan)

Ketika semua pemain ludruk dibantai, tinggal dia sendirian yang tersisa.

 

BAPAK

Waktu kamu masih kecil, dia bisa bercerita. Waktu kamu sudah besar, dia tidak bisa bercerita apa- apa lagi.

 

IBU

Iya, selalu mengaku lupa dan hanya bisa pergi ke kali itu setiap malam jum;at kliwon.

 

BAPAK

Di kali itulah, yang suatu ketika bisa betul-betul merah karena darah, mayat-mayat mengalir seperti sampah. Di kali itulah mayat teman-temannya pemain ludruk mengapung.

 

IBU

Iya. Kok napak bisa ingat dan aku tidak?

 

BAPAK

Penduduk pinggir kali, kere-kere itu, menunggu mayat-mayat yang lewat. Mereka menggaet mayatmayat dengan bamboo yang diberi pengait di ujungnya. Mereka geret mayat-mayat itu ke tepian, lantas mereka jarah.

 

IBU

Bapak ingat semuanya. Padahal itu ceritaku.

 

BAPAK

Penduduk mengambil arloji, ikat pinggang, cincin dan akhirnya menjebol gigi emas dari mayat-mayat itu.

 

IBU

Kenapa aku bisa lupa?

 

BAPAK

Barangkali kamu yang ingin melupakannya.

 

IBU

Aku tidak pernah ingin melupakannya.

 

BAPAK

Barangkali. Tapi bawah sadarmu ingin melupakannya. Mestinya kamu kan paling tidak bisa lupa soal kliwon-kliwonannya si mbok itu. Cuma, kalau dulu ia pergi ke akli Madiun, sekarang ke kali Ciliwung. Hmmm, lupa. Ingat. Lupa. Ingat. Kenangan siapa yang paling shahih jadi sejarah kita? Dering telepon di malam hari bisa punya makna yang mengerikan.


MUSIK BLUES FADE IN. LAMPU MEREDUP, MUSIK BLUES FADE OUT. LAMPU TERANG KEMBALI. BAPAK BERDIRI DARI KURSINYA BERJALAN-JALAN.

 

BAPAK

Ide! Ide! Gagasan! Coba bu, darimana datangnya gagasan itu!?

 

IBU

Gagasan yang jahat

 

BAPAK

Aku mencoba membayangkannya bu. Sejumlah orang ebrkumpul di sekeliling meja di sebuah

ruangan ber AC. Mereka mempunyai daftar nama. Mereka membicarakan….

 

IBU

Nanti dulu pak! Apa Cuma segitu bayangan bapak?

 

BAPAK

Cuma segitu?

 

IBU

Bapak sudah membayangkan sejumlah orang berkumpul di ruangan ber AC. Apa Cuma itu?

 

BAPAK

Maksudnya?

 

IBU

Bagaimana kek tampang mereka. Bagaimana kondisi ruangannya, terdengar apa saja, minum apa mereka di situ, pakai seragam atau tidak? Yang rinci dong!

 

BAPAK

Hmmmm. Rinci, ya? rinci.

 

IBU

Iya. Namanya juga mengingat-ingat.

 

BAPAK

Yang pasti tubuh mereka kekar-kekar. Ruangannya putih bersih.

 

IBU

Ada gambar gak di situ?

 

BAPAK

Kalau lukisan tidak ada. Selera mereka kan payah-payah. Tapi ada gambar Presiden dan wakil presiden.

 

IBU

Bapak bilang ruangan ber AC. Berdengung atau tidak AC nya?

 

BAPAK

AC nya bagus. Tidak berdengung. Sesejuk hawa pegunungan.


IBU

Mereka berkumpul begitu, karena mau rapat?

 

BAPAK

Pasti membicarakan sesuatu! Memangnya mau arisan!?

 

IBU

Bapak ini kok darah tinggi sih! Maksudku, mereka minum apa? Teh atau kopi?

 

BAPAK

Orang-orang begitu ya biasanya kopi!

 

IBU

Gelas atau cangkir?

 

BAPAK

Kok ada gelas atau cangkir?

 

IBU

Ya kan cangkir untuk atasan dan gelas untuk bawahan!

 

BAPAK

Memangnya ada atasan da nada bawahan?

 

IBU

Ya, ada pimpinannya lah, ada yang menugaskan, ada yang ditugaskan.

 

BAPAK

Tempat minumnya lain-lain?

 

IBU

Memangnya tempat minum jenderal sama dengan tempat minum kroco-kroco?

 

BAPAK

Aku tidak bisa membayangkan gelasnya bu! Kamu terlalu rinci!

 

IBU

Memang harus rinci. Di luar ruangan, terdengar suara helicopter datang dan pergi atau tidak?

 

BAPAK (Menirukan suara helicopter)

Dud-dud-dud-dud-dud-dud-dud. Suara helicopter. Kalau ada masuk akal juga!

 

IBU

Artinya mereka berseragam dong!

 

BAPAK

Berseragam! Seragam robot!

 

IBU


Nah, sekarang bapak bisa mulai. Mereka mempunyai daftar nama tadi bapak bilang?

 

BAPAK

Mereka mempunyai daftar nama. Mereka menganalisis nama itu satu persatu. Barangkali dari setiap nama, mereka sudah mempunyai data yang lengkap. Nama, tanggal lahir, siapa orang tuanya, apa kegiatannya, organisasi apa yang dipimpinannya.

 

IBU

Wah, kerja intel itu.

 

BAPAK

Tapi bukan sembarang intel. Kalau intel biasa kan Cuma menyelidiki, mencatat dan melaporkan.

 

IBU

Kalau ini?

 

BAPAK

Menculik!

 

IBU

Kok bisa!?

 

BAPAK

Itu dia yang kutanyakan tadi. Ide! Ide! Gagasan! Darimana datangnya gagasan untuk menculik itu!

 

IBU

Mereka mempunyai daftar nama bapak bilang!?

 

BAPAK

Mereka mempunyai daftar nama dan menganalisisnya satu persatu!

 

IBU

Lantas memutuskan untuk menculiknya!

 

BAPAK

Lantas memutuskan untuk menculiknya!

 

IBU

Kenapa begitu?

 

BAPAK

Tergantung analisisnya

 

IBU

Bapak bisa membayangkan analisisnya?

 

BAPAK

Kita lihat saja nanti. Mereka membicarakan nama-nama itu satu persatu. Dari setiap nama ditentukan, apakah dia berbahaya atau tidak.


IBU

Atas dasar apa?

 

BAPAK

Berbahaya bagi Negara atau tidak

 

IBU

Apa yang dimaksud berbahaya untuk Negara?

 

BAPAK

Kritis. Kritis itu berbahaya bagi Negara.

 

IBU

Lho, kritis itu berguna untuk Negara.

 

BAPAK

Jangan bilang sama aku, bilang sama mereka.

 

IBU

Apa punya kuping mereka itu?

 

BAPAK

Punya sih punya. Tapi kuping itu kalau tidak budge, pasti terlalu cepat panas.

 

IBU

Yang namanya kritis itu, di zaman apapun, di Negara manapun selalu berguna. Kenapa dianggap berbahaya?

 

BAPAK

Pada dasarnya sikap kritis memang berguna untuk Negara, tapi yang menganggap berbahaya ini sebetulnya bukan Negara, melainkan orang-orang yang me-ra-sa di-ri-nya adalah Negara!

 

IBU

Mati aku!

 

BAPAK

Mati. Ya, mati. Di negeri ini ada orang-orang yang merasa berhak memutuskan mati hidupnya orang lain.

 

IBU

Maka mereka menculiknya.

 

BAPAK

Yah, merasa berhak menculiknya.

 

IBU

Mempunyai hak untuk menculik

 

BAPAK

Hak culik. Itu namanya. Hak culik.


IBU (Setelah jeda, meletakkan buku, berjalan ke jendela)

Waktu aku kecil, pembantu di rumah selalu bilang. Jangan keluar rumah kalau sudah gelap. “ada culik” katanya. “Awas ada culik den” katanya selalu. Aku selalu membayangkan yang disebut culik itu sebagai mahluk yang besar bertubuh hitam yang muncul dari kegelapan. Dengan mudahnya ia menenteng kita, menjepit kita diketiaknya. Katanya kita akan dibawa ke semak-semak, ke gerumbul pohon pisang. Di sana kita akan mengira diberi makan bakmi, padahal yang kita makan adalah cacing.

 

BAPAK

Cacing sih protein bu!

 

IBU

Setelah besar aku persetankan semua itu. Eh, kok ternyata culik itu ada.

 

BAPAK

Yang kamu ceritakan tadi genderuwo, yang kita bicarakan ini manusia.

 

IBU

Manusia yang menculik.

 

BAPAK

Manusia yang menculik manusia.

 

IBU

Jadi bagaimana mereka menganalisisnya tadi pak?

 

BAPAK (Membayangkan ada di salah satu sudut meja)

Ini ada meja. Yang di sini berkata: “Tidak usah diragukan lagi, orang ini sangat berbahaya. Dia terlalu pintar bicara. Persis seperti tukang obat. Tapi dia tidak menjual obat. Dia menjual ideology. Sangat berbahaya. Dia pandai menggalang massa. Dialah yang membagi-bagikan tugas. Siapa bikin demonstrasi. Siapa bikin selebaran. Semua orang percaya padanya. Termasuk para pemberi dana. Orang seperti ini yang harus diambil. Bukan yang teriak-teriak pakai corong.” Lantas….

 

(Bapak berjalan seolah-olah ke sudut meja lain)

 

Orang lain berkata: “Kalau begitu kita ambil dia. Bagaimana?”

 

(Berjalan ke sudut lain)

 

Orang lain lagi berkata: “Ambil.”

 

IBU

“Ambil” begitu kata mereka?

 

BAPAK

Barangkali juga “Angkat”

 

IBU

Sok tahu mereka itu.


BAPAK

Memang mereka sok tahu.

 

(Ke sudut lain lagi)

 

Yang lain berkata:” Kalau tidak kita ambil sekarang, lama-lama dia bisa menjadi racun. Orang-orang

melecehkan Negara”

 

IBU

Maksud dia penguasa?

 

BAPAK

Pokoknya dia bilang negara

 

IBU

Negara itu apa sih sebenarnya? Bentuknya tidak pernah jelas.

 

BAPAK

Yang jelas bentuknya ya penguasa-penguasa itu.

 

IBU

Penculik sebenarnya?

 

BAPAK

Penculik itu yang menyuruh ya penguasa.

 

IBU

Kok tahu?

 

BAPAK

Yang di sini bilang: “sebetulnya apa urusan kita dengan dia? Kita kan tahu apa yang dikatakannya semua benar. Memang ada korupsi, memang ada kecurangan dalam pemilu. Memang ada terror dan intimidasi. Republik ini sudah hamper ambruk.”

 

(Pergi ke sudut lain)

 

Yang di sini menyahut: “kamu membela mereka? Apa kamu mau membangkang?”

 

(Pergi ke meja lain)

 

“Dia bukan mau membangkang terhadap tugas, dia mengatakan apa yang dipikirkannya.”

 

(pergi ke sudut yang bertanya)

 

“Jangan berpikir di sini, laksanakan saja tugas kita dengan baik.”

 

(Pergi ke meja pembangkang)

 

Tapi mereka Cuma anak-anak.


(Ke meja lain)

 

“Ya, anak-anak yang berbahaya.”

 

(Ke meja pembangkang)

 

“Tapi apa hak kita untuk menculik, merampas kemerdekaan mereka?”

 

(Balik ke meja penanya)

 

“ Pertama, mereka berbahaya untuk Negara, kedua kalau pun kamu tidak setuju, ini adalah tugas.” Ini dijawab lagi. “Tugas pun boleh ditolak kalau keliru.” Lantas ditantang “Tolak saja kalau berani!” Dijawab lagi “Aku menolak!”

 

BAPAK TERDIAM

 

IBU

Lantas?

 

BAPAK

Orang yang menolak tugas ini mati.

 

IBU (menghela napas)

Itu cerita yang terlalu bagus.

 

BAPAK

Kenapa?

 

IBU

Karena terlalu heroik

 

BAPAK

Mestinya?

 

IBU

Mereka semua penculik. Mereka semua setuju untuk menculik. Mereka merencanakan penculikan dengan cermat dan dingin.

 

BAPAK

Yah, itu lebih gampang membayangkan.

 

IBU

Gampang?

 

BAPAK

Semuanya setuju untuk menculik kan?

 

IBU

Yah, semuanya setuju.


BAPAK

Jadi semuanya setuju untuk menculik, setidaknya karena ini adalah tugas.

 

IBU

Tugas! Tugas! Mereka memang kejam dan tidak punya perasaan.

 

BAPAK

Sudahlah.

 

IBU

Apa itu “sudahlah!” tidak ada sudahlah! Kita harus menggugat.

 

BAPAK

Aduh. Ibu ini galak amat! Tadi katanya mau membayangkan.

 

IBU

Sakit membayangkannya. Cuma menimbulkan dendam.

 

BAPAK

Cobalah membayangkan tanpa dendam. Kita harus lebih manusiawi dari mereka.

 

IBU

Baik. Jadi mereka merencanakan penculikan?

 

BAPAK (bercerita dengan gerak)

Mereka merencanakan penculikan. Menentukan saat untuk mengambil. Mereka mengincar. Saat mana tidak ada orang. Supaya tidak ada saksi.

 

IBU

Heran. Darimana datangnya gagasan itu?

 

BAPAK

Mereka mendorongnya masuk mobil. Dibawa berputar-putar dengan mata tertutup.

 

IBU

Apakah hal-hal semacam itu dipelajari?

 

BAPAK

Tentunya! Dipelajari dengan sistematis!

 

IBU

Pelajaran tentang cara-cara menculik, begitu?

 

BAPAK

Pasti ada namanya yang keren. Tapi isinya sama: menculik!

 

IBU

Hebat sekali. Menculik diberi nama lain.

 

BAPAK


Namanya juga pembenaran.

 

IBU

Pembenaran. Hebat sekali kata satu ini.

 

BAPAK

Semua orang hidup dengan pembenarannya masing-masing.

 

IBU

Itu tidak berarti boleh menculik orang lain dong

 

BAPAK

Menculik setelah merencanakan baik-baik dengan matang.

 

IBU

Matang dan terencana

 

BAPAK

Apakah mereka tidak bisa membedakan, bahwa tugas Negara pun bisa ditolak kalau nggak bener? Dibuat dari apa hati nurani orang-orang ini?

 

IBU

Yang menugaskan itu lho pak.

 

BAPAK

Kenapa yang menugaskan?

 

IBU

Dida itulah yang lebih harus dipertanyakan lagi. Terbuat dari apa hati nuraninya, sampai tega- teganya menculik lewat tangan anak buahnya.

 

BAPAK

Masalahnya apa iya anak buahnya itu terpaksa?

 

IBU

Maksud bapak, mereka menculik dengan senang hati?

 

BAPAK

Yah, kalau hati nurani menolak, ya menolaklah mereka.

 

IBU

Kita semua sudah terlatih tidak menggunakan hati nurani.

 

BAPAK

Kita?

 

IBU

Memangnya siapa yang suka menjarah rame-rame, membakar rame-rame, memperkosa rame-rame, menyembelih rame-rame. Siapa?


BAPAK

Itu kan tidak setiap hari.

 

IBU

Bapak ini pikirannya bagaimana sih? Apa maksudnya kita boleh sekali-sekali menjarah!?

 

BAPAK

Bu, itu semua terjadi kan karena ada yang menggosok-gosok!

 

IBU (Setelah jeda)

Hati nurani. Hati nurani. Ke mana kamu?

 

BAPAK

Zaman sudah edan seperti ini. Hati nurani kamu tanyakan!

 

IBU

Jadi bapak sudah ingat sekarang?

 

BAPAK

Gila! Mereka menculik anak kita! Bagaimana aku bisa lupa?

 

LAMPU MEREDUP

 

 

 

 

BABAK KETIGA

 

Jam Westminter berdentang 12 kali Di jendela, bulan itu menghilang

 

 

IBU

Sudah jam dua belas Pak, tidurlah.

 

BAPAK

Kenapa bukan kamu saja yang tidur?

 

IBU

Bapak tahu aku selalu susah tidur.

 

BAPAK

Aku juga.

 

IBU

Bagaimana bisa tidur kalau selalu teringat Satria!

 

BAPAK


Orang terakhir yang melihat dia bilang, waktu itu dia pakai kaos oblong.

 

IBU

Iya, itu kaos Hard Rock Café yang dikirim Yanti dari New York.

 

BAPAK

Aktivis kok kaosnya Hard Rock Café.

 

IBU

Ya biarlah, namanya juga anak muda. Apa dia harus pakai kaos anti Orde Baru setiap hari. Kan ya ganti-ganti.

 

BAPAK

Di mana Satria sekarang ya? Semua orang sudah kembali, dan orang-orang yang kembali itu mendengar suara Satria juga.

 

IBU

Empat belas orang yang belum kembali

 

BAPAK

Ada yang anak tunggal malah….

 

IBU

Maksudnya apa, Pak?

 

BAPAK

Ya kan kasihan, anak Cuma satu kok diculik, barangkali dibunuh pula.

 

IBU

Sebentar, pak. Sebentar. Maksud bapak, kalau anaknya tiga seperti kita, kehilangan satu anak tidak terlalu apa-apa, begitu?

 

BAPAK

Bukan.

 

IBU

Apa bapak berpikir, aku bisa bilang tidak apa-apa kehilangan satu, toh masih ada dua anak lain?

 

BAPAK

Ya, tidak.

 

IBU

Jadi, untuk apa ngomong soal anak tunggal, pakai ‘malah’ lagi!

 

BAPAK

Maksudku, kamu itu tidak usah merasa paling menderita di dunia ini.

 

IBU

Apa aku bilang begitu?


BAPAK

Ya tidak. Sudahlah jangan marah

 

IBU

Makanya hati-hati kalau ngomong. Tidak setiap hari perempuan bisa sabar.

 

BAPAK

Ya, ya, ya. Sorry.

 

(Setelah jeda)

 

Mereka itu masih hidup atau sudah mati ya?

 

IBU

Kalau masih hidup, kenapa tidak dikembalikan

 

BAPAK

Jangan-jangan dibunuh.

 

IBU

Untuk apa Satria dibunuh, untuk apa? Dia tidak melakukan kejahatan apa-apa. Dia tidak bisa memimpin pemberontakan. Anak sekurus itu.

 

BAPAK

Kurus dan sakit-sakitan. Tapi pikirannya tajam.

 

IBU

Kenapa ada orang begitu takut pada pikiran, sampai-sampai harus menculik dan membunuh pemilik pikiran itu.

 

BAPAK

Pikiran yang bebas sejak dahulu selalu dianggap berbahaya oleh Negara.

 

IBU

Negara goblok.

 

BAPAK

Apa kamu masih mengharapkan Satria hidup, Bu?

 

IBU (Berdiri, berjalan)

Kamu pikir bagaimana pak? Setiap kali aku memasuki kamar anak bungsu kita itu, aku selalu merasa dia masih akan pulang. Melihat tempat tidurnya, kaset dan CD nya, gitar, tustel, celana dan kaos oblong bergelantungan. Foto pacarnya….(Ibu menangis)

 

BAPAK

Tabahlah bu. Tabah.

 

IBU (berhenti menangis)

Apa aku tidak seperti orang tabah?


BAPAK

Ya. kamu tabah. Kamu lebih tabah dari aku.

 

IBU

Kalau satria bisa bertahan, kenapa aku ibunya tidak? Tapi aku merasa seolah-olah ia masih berada di sini. Aku masih selalu menyiapkan sarapannya setiap hari, siapa tahu dia pulang. Kamu tahu pak, dia selalu sarapan roti, pakai telur isi ceplok setengah matang dilapisi beef bacon yang kalau dia iris lantas kuningnya meleler memenuhi piringnya. Lantas ia sapu dengan rotinya itu. Minum kopi susu. Hamper tidak pernah bosan ia dengan telur. Tapi tidak pernah ia jerawatan pak. Tahun belakangan ia sering tidak pulang, tapi paling lama juga dua- tiga hari, itu pun selalu menelpon ke rumah. Sibuk rapat katanya. Atau demo ini-itu. Aku selalu menyediakan vitamin karena tubuhnya kurus begitu. Tapi semangatnya itu pak, kalau sudah ngomong, waduh, matanya berapi-api. Aku tahu dia bisa bertahan dalam penderitaan.

 

BAPAK

Yah, dia akan tahan.

 

IBU (Menangis lagi)

Satria, kalau sakit sedikit saja manjanya bukan main.

 

BAPAK

Orang-orang yang sudah dilepas itu bercerita

 

IBU (Mencoba berhenti menangis) Satria pasti tahan.

 

BAPAK

Mereka bertanya sambil mengemplang. Bertanya sambil menyetrum. Mereka menginginkan jawaban seperti yang mereka kehendaki. Interogasi kok seperti itu. Maksa! Dan satria itu orangnya ngeyelan. Mana mau dia ngaku meski disakiti.

 

IBU

Sebaiknya dia ngaku supaya dilepas.

 

BAPAK

Apa yang mau diakuinya? Dia tidak bisa mengakui hal-hal yang tidak pernah dilakukan selanjutnya. Kita kan tahu Satria itu ngeyelan. Jangan-jangan dia nantang minta disetrum lagi.

 

IBU

Keras kepala! Seperti kamu pak!

 

BAPAK

Apa kamu tidak keras kepala? Siapa dulu yang mogok makan?

 

IBU

Yah, kan itu masih muda.

 

BAPAK

Waktu sudah tua juga! Siapa yang bawa poster di depan kantor menteri wanita?


IBU

Habis, perempuan-perempuan itu diperkosa kok menterinya dia saja.

 

BAPAK

Nah kan!

 

IBU

Aku sampai sengaja menyetrum diriku, ingin ikut merasakan penderitaan Satria. Aduh, Satria, Satria, Satria seperti apa dia sekarang?

 

BAPAK

Kamu harus siap dengan penderitaan. Orang-orang yang dilepaskan bercerita bagaimana mereka bukan Cuma ditanyai sambil dikemplang, ditanyai sambil diestrum. Belum bener juga lantas kepalanya dimasukkan ke air sampai mereka megap-megap. Rata-rata pengalamannya hampir sama.

 

IBU

Disundut rokok juga katanya. Apa sih maksudnya?

 

BAPAK

Supaya tersiksa.

 

IBU

Kalau sudah tersiksa?

 

BAPAK

Mereka menderita.

 

IBU

Kalau sudah menderita?

 

BAPAK

Diperhitungkan mereka akan mengakui perbuatan yang tidak pernah mereka lakukan.

 

IBU

Itu semua direncanakan? Dirapatkan? Disetujui? Lantas diputuskan untuk dilaksanakan?

 

BAPAK

Apanya?

 

IBU

Penyiksaan itu dong!

 

BAPAK

Memangnya alamiah?

 

IBU

Jadi mereka dengan sengaja dan sadar menyiksa. Untuk apa? Kok caranya begitu?

 

BAPAK

Itulah. Namanya juga maksa!


IBU

Jadi mereka dengan sadar melakukan pemaksaan. Menculik. Menanyai sambil menempeleng dan menyetrum. Atau menyuruhnya tidur di atas balok es. Orang-orang yang dilepaskan bercerita seperti itu kan?

 

BAPAK

Aku juga tak habis pikir. Mereka sengaja beli balok es. Beli! Beli dimana mereka?

 

IBU

Beli? Mungkin bikin sendiri!

 

BAPAK

Bikin? Hahaha! Orang-orang tidak jegos! Pasti beli! “Saya mau beli balok es yang cukup untuk tidur orang dewasa.” Katanya.

 

IBU

Kukira tidak beli. Minta.

 

BAPAK

Pasti tidak minta. Ngambil.

 

IBU

Berpikir tentang balok es untuk membuat para aktifis kedinginan, supaya bisa dipanaskan dengan tempeleng. Cara mana sih itu?

 

BAPAK

Itu yang disebut kekejaman. Kebiadaban.

 

IBU

Apa orang-orang itu tidak punya seorang ibu yang setidak-tidaknya pernah mengenalkan kasih saying, kelembutan, cinta. setidak-tidaknya orang-orang itu kan bisa berpikir ada keluarga yang kehilangan, ibu yang mencari….

 

BAPAK

Apa kamu pikir orang-orang itu dilahirkan dari seorang ibu?

 

IBU

Apa mereka lahir dari batu?

 

BAPAK

Mereka dilahirkan oleh rahim kekejaman.

 

MUSIK BLUES FADE IN. LAMPU REDUP. BAPAK BERJALAN KE JENDELA. MUSIK BLUES FADE OUT. LAMPU TERANG.

 

BAPAK

Bu, coba lihat, rembulan itu lenyap. Kalau tidak salah, tadi waktu jam sepuluh bulan itu masih separuh. Jam sebelas tinggal bulan sabit. Sekarang lenyap sama sekali. Apa ada gerhana?


IBU (Berjalan ke jendela)

Gerhana bulan kan tidak berjam-jam. Kalau gerhana pasti sudah muncul lagi

 

BAPAK

Kalau tidak muncul lagi, apa namanya dong?

 

IBU (sambil pergi)

Namanya gerhana selamanya

 

BAPAK (Berbalik dari jendela)

Hehehehee…bisa saja kamu bu!

 

IBU

Pak! Satria itu pernah menanyakan hal yang sama lho waktu masih kecil. Dia bertanya, kalau bulan tidak pernah muncul lagi bagaimana?

 

BAPAK

Kamu jawab apa?

 

IBU

Aku bilang bulan pasti muncul lagi. Tapi kalaupun tidak muncul lagi kenapa harus kehilangan?

 

BAPAK

Kenapa?

 

IBU

Karena kita masih bisa mengharapkan rembulan itu akan muncul. Rembulan itu akan selalu ada untuk kita. Kelihatan atau tidak kelihatan, karena dia pernah ada.

 

BAPAK

Seperti apa sih Satria setelah besar?

 

IBU

Oh, ini bapak yang gak kenal anaknya ya!?

 

BAPAK

Dia kan lebih dekat sama kamu bu!

 

IBU

Yah, anak itu, sudah segede itu masih suka cerita sambil tidur dipangkuanku.

 

BAPAK

Anak mami!

 

IBU

Memang anak mami! Cerita macam-macam hal sambil tiduran. Impian-impiannya, harapan- hrapannya, kekecewaannya, kepahitannya. Dia memang peduli sekali dengan politik. Aku sendiri nggak suka ngerti omongannya. Aku pernah bilang, hati-hati dengan politik. Kubilang “kamu datang dengan pikiran-pikiran hebat, tapi orang bisa menyambut kamu dengan pikiran ingin menyembelih. Dia bilang “politik yang dewasa tidak begitu bu. Setiap orang harus mau mendengar pikiran orang


lain. “aku bilang lagi, “pokoknya hati-hati, di negeri ini politik selalu ebrarti kekerasan, bukan

pemikiran.”

 

BAPAK

Terus, apa katanya?

 

IBU

Dia bilang. Main kekerasan sudah harus dihentikan, karena kekerasan itu kampungan!

 

BAPAK

Kalau kita semua masih kampungan bagaimana?

 

IBU

Bilanglah sama dia! Makanya jadi bapak ngobrol sedikit dong sama anak. Jangan Cuma ngurusi kebatinan melulu. Coba kalau waktu itu bapak sempat diskusi, barangkali tidak terlalu nekad itu anak.

 

BAPAK

Sama saja. Anak muda biasanya nekad. Justru orang-orang tua yang suka cari selamat.

 

IBU

Satria. Baru apa dia sekarang?

 

BAPAK

Bu, siapa itu ibunya pacaranya Satria?

 

IBU

Calon besan?

 

BAPAK

Iya, yang janda itu.

 

IBU

Yang diingat kok jandanya!

 

BAPAK

Lho, memang janda toh?

 

IBU

Iya, iya. Ibu Saleha, ibunya Saras. Kenapa?

 

BAPAK

Waktu dia kesini terakhir kali, dia seperti mau bilang sesuatu.

 

IBU

Mau bilang apa?

 

BAPAK

Aku tidak tahu. Waktu itu aku tidak berpikir apa-apa. Tapi sekarang, kalau kuingat-ingat, ia seperi ingin menyampaikan sesuatu. Soalnya, tidak ada alasan pasti kenapa ia datang.


IBU

Dia menanyakan perkembangan Satria

 

BAPAK

Orang hilang kok ditanya perkembangannya!

 

IBU

Sudah ada titik terang apa belum, begitu lho, diberi simpati kok malah sinis.

 

BAPAK

Dia itu seperti ingin kita mengerti, kalau Saras mau kawin. Harap maklum.

 

IBU

Ya tidak apa-apa kan, kalau dia bermaksud begitu?

 

BAPAK

Hmmmh! Setia sekali Saras situ!

 

IBU

Eh, Saras situ memang setia lho pak. Cuma ibunya yang pengin dia tidak usah menunggu Satria.

 

BAPAK

Orang diculik kok tidak mendapaty simpati.

 

IBU

Wah, asal tahu pak, ada juga lho yang nyukurin.

 

BAPAK (Kaget) Apa? Nyukurin?

 

IBU

Iya, maksudnya salah sendiri Satria ikut-ikutan jadi aktifis. Kalau diculik ya resikonya.

 

BAPAK

Artinya, kalau jadi aktifis, maka dia boleh diculik.

 

IBU

Itu pikiran mereka. Sebenarnya seperti kita juga kan pak, alergi dengan politik. Lha wong yang diomongin demokratisasi, kok ketemunya clurit. Siapa yang tidak alergi? Cuma kebetulan anak kita kelewat peduli dengan masalah social, ujung-ujungnya jadi politik juga, meskipun dia muak dengan partai-partaian. Kalau tidak, apa kamu juga akan peduli dengan politik?

 

BAPAK

Sampai sekarang aku juga tidak ingin peduli. Sok tahu semua.

 

IBU

Tapi terpaksa peduli kan, karena anak kita diculik?

 

BAPAK


Peduli tapi tidak ikut-ikutan. Hmmmm, partai. Apa ada harapan dengan partai?

 

IBU

Politik itu sejarahnya tidak ada yang beres. Orang-orang diciduk, orang-orang disembelih, orang- orang dipenjara dan dibuang tanpa pengadilan. Aku masih ingat semua kisah sedih yang tidak bisa diucapkan itu. Keluarga yang kehilangan bapaknya, anak yang kehilangan ibunya, istri yang kehilangan suaminya. Mereka tidak mengucapkan apa-apa. Tidak bisa mengucapkan apa-apa. Tertindas. Keplenet. Tidak pernah ngomong karena takut salah. Padahal tentu saja tidak ada yang lebih terluka, tersayat dan teriris selain kehilangan orang-orang yang tercinta dalam pembantaian. Orang-orang diperkosa demi politik, orang-orang dibakar, harta bendanya dijarah, bagaimana orang bisa hidup dengan tenang? Hanya politik yang bisa membuat orang membunuh atas nama agama. Mana ada agama membenarkan pembunuhan. Apakah ini tidak terlalu berbahaya? Politik hanya peduli dengan manusia. Apalagi hati manusia. Apakah kamu bisa membayangkan pak, luka di setiap keluarga itu?

 

BAPAK

Ya.

 

IBU

Aku sungguh tidak mengerti, bagaimana manusia tidak bisa menerima perbedaan. Apa orang itu tidak boleh berbeda?

 

BAPAK

Perbedaan itulah yang selalu dianggap mengganggu.

 

IBU

Apa semua orang itu harus sama? Harus seragam? Sama pikirannya, seleranya bahkan tingkah lakunya? Apa harus begitu?

 

BAPAK

Sudahlah, bu. Kita semua kan kurang pendidikan! Tidak ada orang berpendidikan bacok-bacokan!

 

IBU

Justru pendidikan itu digunakan untuk mengibuli orang. Pendidikan terror saja ada. Bukan untuk meneror sorang saja, tapi juga untuk masyarakat. Itu juga hasil pendidikan lho. Pendidikan luar negeri malah. Dan tidak sembarang orang bisa mengendalikan masyarakat sesuai dengan tujuan terornya. Jadi pendidikan bukan jaminan, pak.

 

BAPAK

Yang kumaksudkan pendidikan yang membudayakan manusia. Terror sih bukan kebudayaan, bu.

 

IBU

Siapa bilang? Apa betul begitu?

 

BAPAK

Maskudmu?

 

IBU

Aku ragu dengan semua pendapat yang sudah diterima sebagai kebenaran tanpa dipertanyakan lagi.


BAPAK

Wah, kamu pasti kebanyakan baca buku

 

IBU

Itulah pendidikan, Pak. Bukan menghapal, tapi mempertanyakan.

 

BAPAK

Nah, itu yang dibilang Satria kalau debat denganku

 

IBU

Tapi aku membaca sendiri. Aku tidak mengutip Satria

 

BAPAK (Setelah jeda)

Hmmm. Kekerasan. Kekerasan. Anak bungsu kita sendiri diculik dan sampai sekarang tidak kembali.

 

IBU

Jangan bilang tidak kembali. Satria hanya belum kembali.

 

BAPAK

Bu! Sudahlah! Hentikan mimpimu! Satria sudah tidak ada. Kalau masih hidup, pasti dia sudah lama dikembalikan.

 

IBU (Menangis)

Mana kita tahu dia sudah dibunuh atau tidak?

 

BAPAK (Menghampiri)

Bu! Maafkan aku, Bu! Kurasa tidak pantas aku mengatakan Satria sudah mati.

 

IBU (Masih menangis)

Sudah setahun lebih. Setiap malam aku berdoa mengharapkan keselamatan Satria; hidup atau mati. Aku hanya ingin kejelasan. Kalau satria sudah meninggal, aku tahu dia dibunuh karena pendiriannya. Apapun pendiriannya, dia mati terhormat. Aku bangga kepadanya. Tapi kalau memang dia begitu membanggakan, mengapa harus diculik, mengapa harus disekap begitu lama sehingga sampai sekarang belum kembali? Mengapa? Mengapa? Mengapa kau culik anak kami?

 

BAPAK (Meninggalkan Ibu)

Sudah setahun lebih. Me-nga-pa-ka-u-cu-lik-a-nak-ka-mi. mengapa kau culik anak kami? Ini pertanyaan yang tidak akan bisa dijawab. Apa bisa pertanyaan ini dijawab oleh seseorang yang merasa memberi perintah menculiknya? Apa bisa seseorang mengakuinya dengan jujur: “ Aku perintahkan agar mereka diculik, karena mereka berani-beraninya menggugat kekuasaanku. Mereka itu kurang ajar!” bisakah, bisakah seseorang yang berkuasa mengakui keangkuhannya?

 

JAM WESMINTER BERDENTANG SATU KALI. BAPAK MENUTUP JENDELA, MENUTUP GORDEN.

 

BAPAK (Setelah jeda)

Bu, sudah larut. Kamu tidak mau tidur?

 

IBU

Bapak pikir apa yang bisa membuat kita bisa tidur? Tidurlah kalau mau. Aku tidak pernah bisa tidur.


BAPAK (Mendekati Ibu)

Aku juga bu, aku capek sekali sebenarnya, tapi aku tidak pernah bisa tidur.

 

MUSIK BLUES FADE IN. BAPAK DAN IBU DUDUK DI KURSINYA MASING-MASING. TUBUH MEREKA TERKULAI BAGAIKAN ORANG MATI, TAPI MEREKA TIDAK MATI. MEREKA HANYA CAPAI SEKALI. MUSIK BLUES FADE OUT. LAMPU PADAM.

 

 

SELESAI

 

Jakarta 13 Maret 1999

 

Terimakasih untuk dosenku Kak Zaitun yang udah ngasih naskah ini.Tq

No comments:

Post a Comment