Wednesday, December 30, 2020

FRAGMENTASI 2020 UKM TEATER TIANG

 

FRAGMENTASI 2020

TEATER TIANG FKIP UNIVERSITAS JEMBER



 

Salam Budaya !!!

Halo Tiangers!!!  Bagaimana kabarnya ? Semoga baik-baik saja yah. Kalian ngapain aja sih selama pandemi ini, sudah nonton pertujukan dari Teater Tiang yang terbaru belum? Nah, kali ini admin ingin mempersembahkan salah satu produksi Teater Tiang yaitu Fragmentasi 2020 yang diadakan pada tanggal 19 Desember 2020 yang mementaskan sebuah naskah yang berjudul “Menunggu Badai Reda 09 November 1945” karya Yusril Ihza yang disutradarai oleh Ayu Komang K.A.

Kalian penasaran enggak sih siapa saja aktor dan tim dalam produksi kali ini!! Yuk kita simak lebih lanjut.

Aktor:

Candra Tejo sebagai “Kardi”

Isti Nafis sebagai “Lasmi”

Kansa Ikhsa Billy sebagai “Kusno”

Pandhu Dinar sebagai “ Sukmo”

Farisa Nurillah sebagai “Simbok”

Tim sukses produksi ini meliputi Tata Make Up & Kostum (Dwi Aprilia, dkk),Tata Cahaya (Firda Yuli, dkk), Tata Musik/Ilustrasi (M. Iqbal, dkk), Tata Panggung (Ulfa Izza, dkk). Buat kalian yang belum nontom pemetasannya seperti apa, yuk klik link dibawah ini.

https://www.youtube.com/watch?v=syRCWHnReyU  

 


POJOK SENI 2020 UKM TEATER TIANG

 

POJOK SENI 2020

TEATER TIANG FKIP UNIVERSITAS JEMBER

 .

Salam Budaya !!!

Halo Tiangers!!!  Bagaimana kabarnya ? Semoga baik-baik saja yah. Kalian ngapain aja sih selama pandemi ini, sudah nonton pertujukan dari Teater Tiang belum? Nah, kali ini admin ingin mempersembahkan salah satu produksi Teater Tiang yaitu Pojok Seni 2020 yang mementaskan sebuah naskah yang berjudul “Mengapa Kau Culik Anak Kami” karya Seno Gumira Ajidarma yang disutradarai oleh Ifatul Khasanah. Kalian penasaran enggak sih siapa saja aktor dan tim dalam produksi kali ini!! Yuk kita simak lebih lanjut.

Aktor dalam pementasan ini yaitu Kansa Ikhsa Billy Cahyo sebagai “Bapak” dan Ayu Komang K.A. sebagai “Ibu”. Tim sukses produksi ini meliputi Tata Make Up & Kostum (Ayu Intan, dkk),Tata Cahaya (Firda Yuli, dkk), Tata Musik/Ilustrasi (M. Iqbal, dkk). Dalam proses kali ini Teater Tiang membawakan naskah“Mengapa Kau Culik Anak Kami” karya Seno Gumira Ajidarma dengan cara yang berbeda. Kalau kalian penasaran hasilnya seperti apa,  yuk klik link dibawah ini.

https://www.youtube.com/watch?v=JGdOS7EoHmw




 

 

 

 

 

LUGU KAYU BAKAR Karya Budi Ros

 

LUGU KAYU BAKAR

Karya Budi Ros

 

SEBELUM MONOLOG DIMULAI, SANG MUNCUL AKTOR MUNCUL DI PANGGUNG MENYAPA PENONTON DAN MEMPERKENALKAN DIRI.

 

AKTOR:

Selamat malam semuaya. Selamat datang di .. (MENYEBUTKAN NAMA TEMPAT). Terima kasih atas kehadiran Anda sekalian. Saya .. (MENYE-BUTKAN NAMANYA). Saya akan memainkan sebuah monolog berjudu LUGU KAYU BAKAR. Lugu, nama tokoh dalam Iakon ini, adalah seorang pencari kayu bakar. Ia dikisahkan sebagai pribadi yang baik, setidaknya begitulahpada awalnya. Bagi saya, memerankan tokoh baik, adalah sebuah kehormatan. Sebab kita tahu, orang baik makin sulit dicari. Makin langka. Dan saya jelas bukan salah satu dari orang langka itu. Selamat menyaksikan!

(KELUAR PANGGUNG)

 

TEPI HUTAN. SIANG. LUGU KAYU BAKAR MUNCUL. IA MEMANGGUL SEIKAT KAYU BAKAR. KEMUDIAN DIA ISTIRAHAT DI BAWAH POHON BESAR YANGLUMAYAN RINDANG.KERINGAT BERCUCURAN DI SEKUJUR TUBUHNYA. DIA HAUS, LAPAR DAN CAPEK.

WAKTU ITU MUSIM KEMARAU PANJANG. UDARA SANGAT PANAS LUGU:

Huh. Gila! Makin hari makin panas rasanya. Dunia mau kiamat barangkali. Kulit rasanya seperti terbakar. (MINUM) Huuuhhh!

 

Kemarin dulu, pada jam begini aku masih sanggup bekerja. Tapi hari ini tidak, Kemarin, kira- kira satu jam sebelum matahari lingsir aku sanggup mengumpulkan 3 ikat kayu bakar. Tapi hari ini aku baru mengumpulkan 1 ikat, padahal matahari sudah lama bergeser ke barat. Repot kalau terus menerus begini. Hidup bakal makin sulit. Sementara kebutuhan hidup makin meningkat, penghasilan malah makin turun. Berapa perak uang yang bakal didapat dari seikat kayu bakar? Paling 1500 perak! Apa yang bisa diperoleh dari uang sebesar itu? Untuk makan kami sekeluarga jelas tidak cukup. Untuk memperoleh uang yang cukup, aku harus menjual banyak kayu bakar. Tapi bagaimana bisa mengumpulkan banyak kayu kalau udara begitu panas? Celakanya, harga kayu bakar sering tidak menentu. Hari ini 1500, besok lusa bisa 1000 atau 500 perak 1 ikat. Itu pun dengan susah payah aku menjualnya. Musim kemarau begini di pasar banyak orang menjual kayu bakar sebab banyak kayu kering tersedia di hutan. Sementara itu orang kampung banyak yang beralih memakai kompor minyak. Zaman memang sudah berubah. Mau bilang apa? (MINUM BEKAL AIRNYA YANG TINGGAL SETETES)

 

Sering aku berpikir untuk meninggalkan pekerjaan ini. Mencari pekerjaan lain. Supaya mendapat penghasilan lebih baik dan hidup lebih layak. Pergi ke kota misalnya, menjadi pembantu rumah tangga, buruh cuci atau apa saja yang mungkin bisa dikerjakan oleh wanita 40 tahun seperti aku ini. Tapi semakin sering aku menimbang, sesering itu pula aku ragu. Aku bukan orang yang pilih-pilih pekerjaan sebetulnya, aku sanggup mengerjakan apa saja. Tapi berganti pekerjaan tidak mudah bagiku. Seluruh kakek buyutku


turun-temurun adalah pencari kayu bakar. Semua orang desaku, selalu menyebut nama kakek buyutku dengan embel-embel kayu bakar di belakang namanya. Buyutku misalnya, dia bernama Langu, maka dia di panggil Langu Kayu Bakar. Nama kakekku Luhur, kemudian dipanggil Luhur Kayu Bakar. Ayahku ber- nama Lono, maka ayahku dipanggil Lono Kayu Bakar. Dan, aku sendiri Lugu, Lugu Kayu Bakar. Aku dan kakek buyutku bukanlah orang yang gemar memuja nama keluarga. Tapi kami tidak ingin mengingkari kenyataan bahwa orang di desaku menghormati dan menyebut nama keluargaku dengan hormat. Dengan santun, meski di belakang nama keluarga kami ada embel-embel yang nampaknya sepele, bahkan rendahan. Yang berasal dari pekerjaan keluarga kami yang juga rendahan yaitu pencari kayu bakar.

 

Anak sulungku pernah bilang, supaya aku jangan bangga dengan sebutan kayu bakar di belakang nama keluarga kami. Bahkan menurutnya sebaiknya lupakan saja sebutan itu, berganti pekerjaan dan hidup lebih layak. Menurutnya, para tetangga dan orang-orang kampung menyebut nama keluarga kami dengan santun karena mereka memang orang-orang yang santun. Tidak ada maksud baik lain di balik itu.

Bisa saja di pendapat anakku betul. Tapi perasaanku berkata lain. Aku merasa, mereka menghormati keluargaku lantaran keluargaku layak dihormati.

 

Pertama, tentu saja karena kakek moyangku orang-orang yang baik, jujur dan tidak pernah merugikan orang lain. Kedua, dalam melakukan pekerjaan kami selalu berusaha menghasilkan yang terbaik. Kayu yang kami jual selalu pilihan. Lurus dan kering. Kayu bakar yang mutunya kurang baik kami pakai sendiri. Kayu bakar yang lurus tidak sulit dimasukan ke dalam tungku. Kayu bakar kering akan cepat menyala dan tidak merepotkan para ibu waktu memasak di dapur. Dengan begitu para ibu tidak usah kuatir masakannya belum matang saat para suami pulang dari ladang.

 

Semua kayu yang kuambil dari hutan juga kayu mati, baik batang ataupun pokok pohonnya. Kayu yang disediakan alam bagi kami. Dengan begitu kami tidak merusak hutan. Tidak merugikan siapa-siapa. Dan tradisi itu terus kami pegang teguh sejak kakek buyutku hingga hari ini. Jadi jelas, orang-orang desa ini bersikap santun pada keluarga kami bukan karena semata- mata mereka orang-orang yang santun. Tapi pasti ada penyebab lain. Lalu apa lagi kalau bukan lantaran keluargaku layak dihormati? Coba bayangkan, orang kecil macam kami dihormati di jaman banyak orang terhormat justru banyak dihujat. Di kampungku, ada guyonan yang sejak lama beredar di kalangan para ibu. Sesudah selesai masak, para ibu biasanya segera pergi ke pancuran untuk mandi dan mencuci pakaian. Siapa yang datang belakangan, biasanya ditanya oleh ibu-ibu lain. "Tumben siang, baru selesai masak ya? " Kalau yang ditanya menjawab "ya", maka biasanya disusul dengan pertanyaan lain. "Tidak pakai kayu bakarnya bu Lugu ya?" Lalu ibu lain segera menimpali. "Makanya, pakai kayu bakarnya Lugu Kayu Bakar. Mahal sedikit tapi masak lancar". "Jangan beli kayu bakar dari orang lain, dong". Dan banyak lagi. Malah konon ada seorang ibu yang memilih cuti memasak kalau tidak pakai kayu bakar dari saya.

 

Bagi yang tidak berpengalaman memasak pakai kayu bakar mungkin omongan para ibu itu tidak berarti apa-apa. Tapi lain cerita bagi yang tahu. Kayu bakar yang benar-benar baik, akan menghasilkan masakan yang baik. Sebaliknya, kayu bakar yang kurang baik, tidak benar-benar kering misalnya, akan membuat masakan bau sangit. Bau asap. Dan jelas masakan tidak nikmat


disantap. Asal tahu saja, di kampungku sekarang ini ada lebih dari sepuluh penjual kayu bakar. Tapi tidak ada yang mendapat sebutan kayu bakar di belakang namanya. Juga tidak ada penjual kayu bakar yang banyak dibicarakan orang seperti namaku. Ini kan jelas pengakuan yang harus disyukuri. Bagaimana pekerjaan ini harus kutinggalkan?

 

Belakangan ini, ketika di televisi ada kampanye "jangan pilih politisi busuk", di kampungku juga ada kampanye "jangan pilih durian busuk", "jangan pilih "mangga busuk", " jangan pilih telor busuk". Dan masih banyak jangan pilih yang lain lagi, Semua itu kuanggap guyonan semata. Di kampungku memang banyak petani buah dan peternak ayam telor. Kebetulan aku bukan salah satu dari mereka. Tapi lama kelamaan, aku menjadi peduli juga ketika guyonan itu berkembang dan menyangkut pekerjaanku. Mulanya cuma "jangan pilih kayu bakar busuk". Tapi kemudian ada juga ucapan "jangan beli kayu bakar dari pencari kayu bakar busuk".

 

Kalau jangan beli kayu bakar busuk jelas maksudnya. Kayu bakar busuk memang tidak menghasilkan api yang baik. Jadi memang tidak layak dibeli. Tapi setahuku, pencari kayu bakar busuk tidak ada di kampungku. Semua pencari kayu bakar di kampungku sehat-sehat saja dan masih hidup, belum mati, jadi tidak ada pencari kayu bakar busuk. Karena penasaran, saya coba mencari tahu. Apa dan siapa yang dimaksud pencari kayu bakar busuk itu. Ternyata yang dimaksud pencari kayu bakar busuk adalah, mereka yang suka mencampur kayu bakar basah dan kering. Kayu yang basah ditaruh di dalam dan ditutupi kayu kering supaya tidak kelihatan. Kayu basah itu konon biasanya hasil curian. Dengan mencampur kayu basah dan kering, si penjual atau pencari kayu bakar memang banyak diuntungkan. Kayu basah mudah mencarinya, tidak perlu masuk jauh ke dalam hutan. Dengan mencampur kayu basah dan kering, yang  bersangkutan juga bisa menjual banyak kayu bakar dan banyak pula mendapat uang. Betul-betul pintar mereka itu.

 

Tapi para pemilik kayu yang kayunya dicuri itu, rupanya tidak kalah pintar. Itulah sebabnya mereka mengkampanyekan "jangan beli kayu bakar dari pencari kayu bakar busuk". Kampanye itu jelas menguntungkansaya. Setidaknya saya diuntungkan secara.. apa itu .. istilah orang pinternya .. moral, begitu. Tapi dalam urusan hidup ini, ternyata, ini saya baru tahu, yang perlu menjadi pertimbangan bukan melulu soal untung rugi. Lho, iya! Buktinya saya malah jadi sedih, jadi nelongso. Keuntungan yang saya peroleh, nyatanya membuat pihak lain dirugikan. Siapa yang rugi? Ya mereka para pencari kayu bakar lain, ya teman-teman saya itu. Mereka sampai sulit makan. Bukan sulit karena tidak berselera makan, tapi memang tidak ada yang dimakan sebab kayu bakar mereka tidak laku. Dan karena kami bertetangga, saya juga ikut repot. Saya harus berbagi dengan mereka. Mending kalau yang dibagi juga ada.Wong kami sendiri kekurangan pangan. Tapi mau bilang apa, habis saya tidak tega.

 

Sejak kampanye "jangan beli kayu bakar dari pencari kayu bakar busuk" disuarakan sekitar tiga bulan lalu, di mana keuntungan seharusnya kami peroleh, malah membuat dapur kami makin kacau. Keluarga kami, yang awalnya kalem-kalem saja, pun mulai mengisyaratkan terjadinya sesuatu. Seperti halnya suamiku, Dia memang tidak mengeluh, tapi tarikan nafasnya sering aneh. Ketika sedang tidur misalnya, di mana umumnya orang bernafas sangat stabil dan halus, dia malah terkadang seperti orang sedang lari di tanjakan. Kemudian dengan Anak-anakku, mereka bereaksi lebih spontan. Begitu masakanku hampir matang, mereka siap di dapur dengan piring kosong di tangan. Begitu masakan


matang, langsung menyerbu dandang nasi dan panci sayur. Mereka tidak mau menunggu dan makan bersama teman-temanku, sebab kalau makan bersama-sama sering tidak kebagian. Dasar anak-anak.

 

Saya sudah coba sarankan kepada teman sesama pencari kayu bakar. Supaya mereka mengubah kebiasaan, supaya jangan menjuai kayu bakar basah. Apalagi kayu itu didapat lewat mencuri. Tapi malah mereka tertawa.

 

"Apa bedanya?" tanya mereka kemudian, “kan sama saja. Kita tetap susah juga. Buktinya ya sampeyan itu. Sampeyan dan kakek-nenek sampeyan jujur sejak dulu, toh sampeyan, tetap masih jadi tukang kayu bakar juga dan hidup susah juga?".

 

Lalu saya bilang pada mereka, "kalau ukuran hidup susah adalah kekurangan pangan, memang saya susah. Tapi itu lantaran saya tidak bisa menjual banyak kayu bakar karena saya memang tidak bisa mencari banyak kayu bakar. Jadi bukan karena saya jujur. Kalau saya bisa tetap jujur sekaligus bisa mencari banyak kayu bakar, hidup saya pasti tidak susah." Eh, mereka malah tertawa lagi.

 

Jadi saya bilang pada mereka, “Dan kalau saya tidak susah, saya bisa menolong kalian lebih banyak”. Eh, tawa mereka malah makin keras. Jadi saya bilang lagi. “Jadi jelas kan, hidup saya yang susah menjadi lebih susah karena harus membantu kalian. Kenapa kalian harus saya bantu? Karena kalian hidup susah gara-gara bersikap curang dan mencuri!”. Mendadak tawa mereka terhenti. Betu-betul berhenti. Tapi hanya sedetik. Sesudah itu mereka tertawa lebih keras lagi. Betul-betul sangat keras. Gemanya menyebar ke mana-mana, memekakkan setiap telinga. Ahhh… akhirnya saya berhenti bicara. Apa gunanya membuang garam ke laut? Kemarin pagi, sebagian dari mereka pamit. Mau pergi mencari peruntungan di kota. Sebagian lagi bermaksud bekerja di perusahaan penebangan kayu di kampung pedalaman sana. Ada perasaan sedih di hati saya. Tapi mau bilang apa, saya toh tidak bisa membantu lebih banyak. Saya hanya bisa berdoa, semoga mereka bekerja dengan baik dan berkelakuan baik. Semakin hari saya semakin percaya, dua hal itu yang membuat orang dihormati. Siapapun orang itu dan apa pun pekerjaannya. Sudah begitu banyak contoh saya lihat, tokoh yang semula menempati posisi begitu terhormat akhirnya dihujat. Saya membayangkan, alangkah pilunya hati mereka. Bukan hanya mereka yang  langsung kena sasaran, tapi seluruh keluarganya ikut menanggung sakit. Bahkan terkadang generasi yang belum lagi dilahirkan.

 

Bisa saja mereka mengingkari rasa sakit itu dengan mengatakan dirinya tidak bersalah sehingga tidak perlu merasa sakit. Tapi siapa bisa mengingkiri suara hati? Warna cat dinding rumah kita bisa diubah, kapan saja kita mau. Ekspresi wajah bias kita “setel” seperi yang kita ingin, sesuai perintah otak yang sudah kita latih dalam nomor-nomor latihan sebelum kita naik pentas. Tapi siapa bisa mengingkari suara hati? Orang boleh saja mengumumkan pada dunia bahwa dirinya bersih, ada legitimasi hukum yang sah, ada dukungan publik yang meneriakkan yel-yel penuh semangat. Tapi siapa bisa mengingkari suara hati? Tentu tidak adil si salah harus menghukum dirinya dalam penjara pengasingan tak bertepi. Sebab pintu taubat Sang Maha Kuasa bahkan selalu terbuka bagi siapa pun. Tapi bijaksanakah si salah jika ia menghendaki tahta kehormatan?

 

Tidak ada orang yang mutlak baik, atau mutlak jahat. Jadi kakek moyangku pasti pernah juga


melakukan kesalahan. Setidaknya satu-dua batang kayu basah pernah pula ia selipkan dalam kayu kering yang dijualnya. Begitupun aku. Sengaja atau tidak. Tapi aku dan keluargaku tidak pula meminta-minta orang menghormati kami. Semua datang secara wajar. Toh belakangan ini saya mulai kuatir. Hutan di daerah ini semakin sempit. Penenbangan besar-besar terus berjalan. Siapa bisa menjamin pencari kayu bakar macam kami bisa bertahan hidup? Kalau toh bisa, apa mungkin saya bisa bersikap terhormat. Hutan semakin sempit, kayu bakar makin berkurang, masa depan kami jelas terancam. Saya kuatir, pada akhirnya saya akan menjadi pencuri juga seperti halnya pencari kayu bakar lain dan perusahaan penebang kayu. Saya tahu, para pencari kayu bakar teman-teman saya mulai mencuri ketika tahu habitatnya mulai dirusak semena-mena oleh perusahaan penebang kayu di hutan sekitar sini. Saya tidak bermaksud membela teman-teman saya, tapi rasanya mereka tidak sepenuhnya salah. Semua sudah seperti benang kusut. Kecurangan merebak ke mana-mana, jalin-menjalin, tumpang tindih, mendarah daging. Setiap tarikan dan hembusan nafas yang kita lakukan, mungkin hanya nafas kecurangan. Orang-orang yang menggalakkan kampanye “jangan beli kayu bakar dari penjual kayu bakar busuk”, mungkin lebih busuk dari teman-teman saya. Bedanya, mereka punya kesempatan, uang dan kekuasaan untuk melakukan kampanya. Mereka, para kampanyewan, hanya sedang berperan. Peranan yang sesuai keadaan. Suatu hari nanti, peran mereka akan berubah sesuai tuntutan zaman.

 

Teman-teman saya, sekarang hanya punya parang. Dan parang tidak mampu membabat hutan. Jadilah mereka pencuri kecil-kecilan. Suatu hari nanti, ketika parang mereka berganti mesin mereka akan membabat hutan juga. Lalu hutan pun tandas. Apa yang bisa saya kerjakan sebagai pencari kayu bakar? Tidak ada. Sebelum hutan tandas dan mati kelaparan, mungkin lebih baik saya jadi buruh di perusahaan penebang hutan. Siapa tahu lama-lama menjadi mandor. Lalu pemborong kecil-kecilan. Akhirnya menuju muara yang sama, perusahaan penebangan hutan juga. Mungkin awalnya berusaha secara baik-baik, memegang etika dan hukum yang berlaku. Tapi siapa bisa menebak arah angin? Hidup di tengah para perampok pasti sulit menjadi si baik.

 

Meski berat hati, saya barangkali akan mengikuti saran anak saya, ganti pekerjaan dan hidup lebih layak. Memang tidak ada jaminan ganti pekerjaan akan mengubah nasib. Tapi paling tidak bisa menepis rasa bosan setelah seumur hidup menjalani pekerjaan yang sama, nasib yang sama. Mungkin para leluhurku akan bangkit dari kubur dan mengutuk saya. Sebab saya sudah memutus tali rantai yang mereka bangun dengan susah payah, yang membuat mereka dihormati di kampung ini. Saya hanya berharap, arah angin akan berubah. Orang yang dihormati bukan hanya yang baik dan jujur, tapi juga yang sekedar "memerankan kebaikan dan kejujuran". Kenapa?

Zaman berubah, nilai-nilai berubah. Ketika orang baik dan jujur semakin sulit dicari, yang setengah baik dan setengah jujur akan dianggap si baik.Saya belum sepenuhnya percaya pikiran saya benar atau salah. Tapi saya melihat, tanda-tanda ke arah sana. Dan semakin hari tanda-tanda itu semakin jelas. Ah, jam berapa sekarang? (LUGU MELIHAT MATAHARI) Kelihatannya sebentar lagi ashar. Saya harus pulang. Cepek juga banyak bicara.

(LUGU MEMANGGUL KAYU BAKARNYA, MELANGKAH PERGI TAPI KEMBALI LAGI DAN BERTANYA KEPADA PARA PENONTON)

 

Maaf, numpang tanya. Apa di sini ada orang yang benar-benar baik dan jujur? Ada? O, tidak ada. Kalau begitu Anda orang jujur. Selamat malam.


(LUGU MELANGKAH PULANG)

 

Depok, Februari 2004

PRESTASI TEATER TIANG MELALUI LOMBA MONOLOG SYNTAC 2020

 

Prestasi Teater Tiang - Desember 31, 2020

Salam budaya!!!

Nama Teater Tiang Kembali Harum


 

       UKM Teater Tiang Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember kembali meraih prestasi dalam lomba "Monolog Competition" SYNTAC yang diselenggarakan oleh Universitas Brawijaya (UB) pada November 2020 lalu. Dalam lomba tersebut Teater Tiang membawakan naskah yang berjudul "Lugu Kayu Bakar" karya Budi Ros. Naskah tersebut disutradarai dan diperankan oleh Dwi Aprilia.

      Dwi Aprilia yang akrab dipanggil "April" merupakan salah satu anggota aktif Teater Tiang. Ia sangat menggemari bidang Teater sehingga ia terus berusaha untuk menghasilkan karya yang dapat mengharumkan nama Teater Tiang.

      Usaha dari April akhirnya tidak sia-sia. Karena kerja kerasnya dan juga kerja sama dari aggota Teater Tiang lainnya, ia berhasil menjuarai lomba "monolog" SYNTAC dengan predikat Juara 1. Hal ini tentunya menjadi salah satu prestasi yang paling membanggakan bagi anggota Teater Tiang yang dapat memotivasi untuk terus menghasilkan karya-karya yang luar biasa.