LUGU KAYU BAKAR
Karya
Budi Ros
SEBELUM MONOLOG DIMULAI, SANG MUNCUL AKTOR MUNCUL DI PANGGUNG MENYAPA
PENONTON DAN MEMPERKENALKAN DIRI.
AKTOR:
Selamat malam
semuaya. Selamat datang di .. (MENYEBUTKAN NAMA TEMPAT). Terima kasih atas
kehadiran Anda sekalian. Saya .. (MENYE-BUTKAN NAMANYA). Saya akan memainkan sebuah monolog berjudu
LUGU KAYU BAKAR. Lugu, nama tokoh dalam Iakon ini,
adalah seorang pencari kayu bakar. Ia dikisahkan sebagai pribadi yang
baik, setidaknya begitulahpada awalnya. Bagi saya, memerankan tokoh baik,
adalah sebuah kehormatan. Sebab kita tahu, orang baik makin sulit dicari. Makin
langka. Dan saya jelas bukan salah satu dari orang langka itu. Selamat menyaksikan!
(KELUAR PANGGUNG)
TEPI HUTAN. SIANG.
LUGU KAYU BAKAR MUNCUL. IA MEMANGGUL SEIKAT KAYU BAKAR. KEMUDIAN DIA ISTIRAHAT
DI BAWAH POHON BESAR YANGLUMAYAN RINDANG.KERINGAT BERCUCURAN DI SEKUJUR
TUBUHNYA. DIA HAUS, LAPAR DAN CAPEK.
WAKTU
ITU MUSIM KEMARAU PANJANG. UDARA SANGAT PANAS
LUGU:
Huh.
Gila! Makin hari makin panas rasanya. Dunia mau kiamat barangkali. Kulit
rasanya seperti terbakar. (MINUM) Huuuhhh!
Kemarin dulu,
pada jam begini aku masih sanggup bekerja. Tapi hari ini tidak, Kemarin, kira-
kira satu jam sebelum matahari lingsir aku sanggup mengumpulkan 3 ikat kayu
bakar. Tapi hari ini aku baru mengumpulkan 1 ikat, padahal matahari sudah lama
bergeser ke barat. Repot kalau terus menerus begini. Hidup bakal makin sulit. Sementara
kebutuhan hidup makin meningkat, penghasilan malah makin turun. Berapa perak
uang yang bakal didapat dari seikat kayu bakar? Paling 1500 perak! Apa yang
bisa diperoleh dari uang sebesar itu? Untuk makan kami sekeluarga jelas tidak
cukup. Untuk memperoleh uang yang cukup, aku harus menjual banyak kayu bakar.
Tapi bagaimana bisa mengumpulkan banyak kayu kalau udara begitu panas?
Celakanya, harga kayu bakar sering tidak menentu. Hari ini 1500, besok lusa
bisa 1000 atau 500 perak 1 ikat. Itu pun dengan susah payah aku menjualnya.
Musim kemarau begini di pasar banyak orang menjual kayu bakar sebab banyak kayu
kering tersedia di hutan. Sementara itu orang kampung banyak yang beralih
memakai kompor minyak. Zaman memang sudah berubah. Mau bilang apa? (MINUM BEKAL
AIRNYA YANG TINGGAL SETETES)
Sering aku
berpikir untuk meninggalkan pekerjaan ini. Mencari pekerjaan lain. Supaya
mendapat penghasilan lebih baik dan hidup lebih layak. Pergi ke kota misalnya,
menjadi pembantu rumah tangga, buruh cuci atau apa saja yang mungkin bisa
dikerjakan oleh wanita 40 tahun seperti aku ini. Tapi semakin sering aku
menimbang, sesering itu pula aku ragu. Aku bukan orang yang pilih-pilih
pekerjaan sebetulnya, aku sanggup mengerjakan apa saja. Tapi berganti pekerjaan
tidak mudah bagiku. Seluruh kakek buyutku
turun-temurun adalah
pencari kayu bakar. Semua orang desaku, selalu menyebut nama kakek buyutku
dengan embel-embel kayu bakar di belakang namanya. Buyutku misalnya, dia
bernama Langu, maka dia di panggil Langu Kayu Bakar. Nama kakekku Luhur, kemudian
dipanggil Luhur Kayu Bakar. Ayahku ber- nama Lono, maka ayahku dipanggil Lono
Kayu Bakar. Dan, aku sendiri Lugu, Lugu Kayu Bakar. Aku dan kakek buyutku
bukanlah orang yang gemar memuja nama keluarga. Tapi kami tidak ingin
mengingkari kenyataan bahwa orang di desaku menghormati dan menyebut nama
keluargaku dengan hormat. Dengan santun, meski di belakang nama keluarga kami
ada embel-embel yang nampaknya sepele, bahkan rendahan. Yang berasal dari
pekerjaan keluarga kami yang juga rendahan yaitu pencari kayu bakar.
Anak sulungku
pernah bilang, supaya aku jangan bangga dengan sebutan kayu bakar di belakang
nama keluarga kami. Bahkan menurutnya sebaiknya lupakan saja sebutan itu,
berganti pekerjaan dan hidup lebih layak. Menurutnya, para tetangga dan orang-orang
kampung menyebut nama keluarga kami dengan santun karena mereka memang
orang-orang yang santun. Tidak ada maksud baik lain di balik itu.
Bisa saja di pendapat anakku betul. Tapi perasaanku berkata lain. Aku
merasa, mereka menghormati keluargaku lantaran keluargaku layak dihormati.
Pertama, tentu
saja karena kakek moyangku orang-orang yang baik, jujur dan tidak pernah
merugikan orang lain. Kedua, dalam melakukan pekerjaan kami selalu berusaha
menghasilkan yang terbaik. Kayu yang kami jual selalu pilihan. Lurus dan
kering. Kayu bakar yang mutunya kurang baik kami pakai sendiri. Kayu bakar yang
lurus tidak sulit dimasukan ke dalam tungku. Kayu bakar kering akan cepat
menyala dan tidak merepotkan para ibu waktu memasak di dapur. Dengan begitu
para ibu tidak usah kuatir masakannya belum matang saat para suami pulang dari
ladang.
Semua kayu yang
kuambil dari hutan juga kayu mati, baik
batang ataupun pokok pohonnya. Kayu yang disediakan alam bagi kami. Dengan
begitu kami tidak merusak hutan. Tidak merugikan siapa-siapa. Dan tradisi itu
terus kami pegang teguh sejak kakek buyutku hingga hari ini. Jadi jelas, orang-orang desa ini bersikap santun pada
keluarga kami bukan karena semata- mata mereka orang-orang yang santun. Tapi pasti ada penyebab lain.
Lalu apa lagi kalau bukan lantaran keluargaku layak dihormati? Coba bayangkan,
orang kecil macam kami dihormati di jaman
banyak orang terhormat justru banyak dihujat. Di kampungku, ada guyonan yang
sejak lama beredar di kalangan para ibu. Sesudah selesai masak, para ibu biasanya segera pergi ke pancuran
untuk mandi dan mencuci pakaian. Siapa yang
datang belakangan, biasanya ditanya oleh ibu-ibu lain. "Tumben siang, baru selesai masak ya? " Kalau yang ditanya menjawab "ya", maka biasanya disusul
dengan pertanyaan lain. "Tidak
pakai kayu bakarnya bu Lugu
ya?" Lalu ibu lain segera menimpali. "Makanya, pakai kayu bakarnya
Lugu Kayu Bakar. Mahal sedikit tapi masak lancar". "Jangan beli kayu
bakar dari orang lain, dong".
Dan banyak lagi. Malah konon ada
seorang ibu yang memilih cuti memasak kalau tidak pakai kayu bakar dari saya.
Bagi yang tidak
berpengalaman memasak pakai kayu bakar mungkin omongan para ibu itu tidak
berarti apa-apa. Tapi lain cerita bagi yang tahu. Kayu bakar yang benar-benar baik, akan menghasilkan
masakan yang baik. Sebaliknya, kayu bakar yang kurang baik, tidak benar-benar
kering misalnya, akan membuat masakan bau sangit. Bau asap. Dan jelas masakan
tidak nikmat
disantap. Asal tahu
saja, di kampungku sekarang ini ada lebih dari sepuluh penjual kayu bakar. Tapi
tidak ada yang mendapat sebutan kayu bakar di belakang namanya. Juga tidak ada
penjual kayu bakar yang banyak dibicarakan orang seperti namaku. Ini kan jelas
pengakuan yang harus disyukuri. Bagaimana pekerjaan ini harus kutinggalkan?
Belakangan ini,
ketika di televisi ada kampanye "jangan pilih politisi busuk", di
kampungku juga ada kampanye "jangan pilih durian busuk", "jangan
pilih "mangga busuk", " jangan pilih telor busuk". Dan
masih banyak jangan pilih yang lain lagi, Semua itu kuanggap guyonan semata. Di
kampungku memang banyak petani buah dan peternak ayam telor. Kebetulan aku
bukan salah satu dari mereka. Tapi lama kelamaan, aku menjadi peduli juga
ketika guyonan itu berkembang dan menyangkut pekerjaanku. Mulanya cuma
"jangan pilih kayu bakar busuk". Tapi kemudian ada juga ucapan
"jangan beli kayu bakar dari pencari kayu bakar busuk".
Kalau jangan beli
kayu bakar busuk jelas maksudnya. Kayu bakar busuk memang tidak menghasilkan api yang baik. Jadi memang tidak layak dibeli. Tapi setahuku, pencari kayu
bakar busuk tidak ada di kampungku. Semua pencari kayu bakar di kampungku
sehat-sehat saja dan masih hidup,
belum mati, jadi tidak ada pencari kayu bakar busuk. Karena penasaran, saya
coba mencari tahu. Apa dan siapa yang dimaksud
pencari kayu bakar busuk itu. Ternyata yang
dimaksud pencari kayu bakar busuk adalah, mereka yang suka mencampur
kayu bakar basah dan kering. Kayu yang basah ditaruh di dalam dan ditutupi kayu
kering supaya tidak kelihatan. Kayu basah itu konon biasanya hasil curian.
Dengan mencampur kayu basah dan kering, si penjual atau pencari kayu bakar
memang banyak diuntungkan. Kayu basah mudah mencarinya, tidak perlu masuk jauh
ke dalam hutan. Dengan mencampur kayu basah dan kering, yang bersangkutan juga bisa menjual banyak kayu bakar dan
banyak pula mendapat uang. Betul-betul pintar mereka itu.
Tapi para
pemilik kayu yang kayunya dicuri
itu, rupanya tidak kalah pintar. Itulah sebabnya mereka mengkampanyekan
"jangan beli kayu bakar dari pencari kayu bakar busuk". Kampanye itu
jelas menguntungkansaya. Setidaknya saya diuntungkan secara.. apa itu ..
istilah orang pinternya .. moral, begitu. Tapi dalam urusan hidup ini, ternyata, ini saya baru tahu, yang perlu menjadi pertimbangan bukan melulu soal untung rugi. Lho, iya! Buktinya saya malah jadi sedih, jadi
nelongso. Keuntungan yang saya
peroleh, nyatanya membuat pihak lain dirugikan.
Siapa yang rugi? Ya mereka para pencari kayu bakar lain, ya teman-teman
saya itu. Mereka sampai sulit makan.
Bukan sulit karena tidak berselera makan, tapi memang tidak ada yang dimakan sebab kayu bakar mereka tidak
laku. Dan karena kami bertetangga, saya juga
ikut repot. Saya harus berbagi
dengan mereka. Mending kalau yang dibagi
juga ada.Wong kami sendiri kekurangan pangan. Tapi mau bilang apa, habis saya tidak
tega.
Sejak kampanye
"jangan beli kayu bakar dari pencari kayu bakar busuk" disuarakan
sekitar tiga bulan lalu, di mana keuntungan seharusnya kami peroleh, malah
membuat dapur kami makin kacau. Keluarga kami, yang awalnya kalem-kalem saja,
pun mulai mengisyaratkan terjadinya sesuatu. Seperti halnya suamiku, Dia memang
tidak mengeluh, tapi tarikan nafasnya sering aneh. Ketika sedang tidur
misalnya, di mana umumnya orang bernafas sangat stabil dan halus, dia malah
terkadang seperti orang sedang lari di tanjakan. Kemudian dengan Anak-anakku,
mereka bereaksi lebih spontan. Begitu masakanku hampir matang, mereka siap di
dapur dengan piring kosong di tangan. Begitu masakan
matang, langsung
menyerbu dandang nasi dan panci sayur. Mereka tidak mau menunggu dan makan
bersama teman-temanku, sebab kalau makan bersama-sama sering tidak kebagian.
Dasar anak-anak.
Saya sudah coba
sarankan kepada teman sesama pencari kayu bakar. Supaya mereka mengubah
kebiasaan, supaya jangan menjuai kayu bakar basah. Apalagi kayu itu didapat
lewat mencuri. Tapi malah mereka tertawa.
"Apa
bedanya?" tanya mereka kemudian, “kan sama saja. Kita tetap susah juga.
Buktinya ya sampeyan itu. Sampeyan dan kakek-nenek sampeyan jujur sejak dulu,
toh sampeyan, tetap masih jadi tukang kayu bakar juga dan hidup susah
juga?".
Lalu saya bilang
pada mereka, "kalau ukuran hidup susah adalah kekurangan pangan, memang
saya susah. Tapi itu lantaran saya tidak bisa menjual banyak kayu bakar karena
saya memang tidak bisa mencari banyak kayu bakar. Jadi bukan karena saya jujur.
Kalau saya bisa tetap jujur sekaligus bisa mencari banyak kayu bakar, hidup
saya pasti tidak susah." Eh, mereka malah tertawa lagi.
Jadi saya bilang
pada mereka, “Dan kalau saya tidak susah, saya bisa menolong kalian lebih
banyak”. Eh, tawa mereka malah makin keras. Jadi saya bilang lagi. “Jadi jelas kan, hidup saya yang
susah menjadi lebih susah karena harus membantu kalian. Kenapa kalian harus saya
bantu? Karena kalian hidup susah gara-gara bersikap curang dan mencuri!”.
Mendadak tawa mereka terhenti. Betu-betul berhenti. Tapi hanya sedetik. Sesudah
itu mereka tertawa lebih keras lagi. Betul-betul sangat keras. Gemanya
menyebar ke mana-mana, memekakkan setiap telinga. Ahhh… akhirnya saya berhenti
bicara. Apa gunanya membuang garam ke laut? Kemarin pagi, sebagian dari mereka
pamit. Mau pergi mencari peruntungan di kota. Sebagian lagi bermaksud bekerja
di perusahaan penebangan kayu di kampung pedalaman sana. Ada perasaan sedih di
hati saya. Tapi mau bilang apa, saya toh tidak bisa membantu lebih banyak. Saya
hanya bisa berdoa, semoga mereka bekerja dengan baik dan berkelakuan baik.
Semakin hari saya semakin percaya, dua hal itu yang membuat orang dihormati. Siapapun orang itu dan apa pun
pekerjaannya. Sudah begitu banyak
contoh saya lihat, tokoh yang semula menempati posisi begitu
terhormat akhirnya dihujat. Saya membayangkan,
alangkah pilunya hati mereka. Bukan hanya mereka yang langsung kena
sasaran, tapi seluruh keluarganya ikut menanggung
sakit. Bahkan terkadang generasi yang belum lagi dilahirkan.
Bisa saja mereka
mengingkari rasa sakit itu dengan mengatakan dirinya tidak bersalah sehingga
tidak perlu merasa sakit. Tapi siapa bisa mengingkiri suara hati? Warna cat
dinding rumah kita bisa diubah, kapan saja kita mau. Ekspresi wajah bias kita
“setel” seperi yang kita ingin, sesuai perintah otak yang sudah kita latih
dalam nomor-nomor latihan sebelum kita naik pentas. Tapi siapa bisa mengingkari
suara hati? Orang boleh saja mengumumkan pada dunia bahwa dirinya bersih, ada
legitimasi hukum yang sah, ada dukungan publik yang meneriakkan yel-yel penuh
semangat. Tapi siapa bisa mengingkari suara hati? Tentu tidak adil si salah
harus menghukum dirinya dalam penjara pengasingan tak bertepi. Sebab pintu
taubat Sang Maha Kuasa bahkan selalu terbuka bagi siapa pun. Tapi bijaksanakah
si salah jika ia menghendaki tahta kehormatan?
Tidak ada orang yang mutlak baik, atau
mutlak jahat. Jadi kakek moyangku pasti pernah juga
melakukan
kesalahan. Setidaknya satu-dua batang kayu basah pernah pula ia selipkan dalam kayu kering yang dijualnya. Begitupun aku. Sengaja
atau tidak. Tapi aku dan keluargaku tidak pula meminta-minta orang menghormati kami. Semua datang secara wajar. Toh
belakangan ini saya mulai kuatir. Hutan di daerah ini semakin sempit.
Penenbangan besar-besar terus berjalan. Siapa bisa menjamin pencari kayu bakar
macam kami bisa bertahan hidup? Kalau toh bisa, apa mungkin saya bisa bersikap
terhormat. Hutan semakin sempit, kayu bakar makin berkurang, masa depan kami
jelas terancam. Saya kuatir, pada akhirnya saya akan menjadi pencuri juga
seperti halnya pencari kayu bakar lain dan perusahaan
penebang kayu. Saya tahu, para pencari kayu bakar teman-teman saya mulai
mencuri ketika tahu habitatnya mulai dirusak semena-mena oleh perusahaan
penebang kayu di hutan sekitar sini. Saya tidak
bermaksud membela teman-teman saya, tapi rasanya mereka tidak sepenuhnya salah.
Semua sudah seperti benang kusut. Kecurangan merebak ke mana-mana,
jalin-menjalin, tumpang tindih, mendarah daging. Setiap tarikan dan hembusan
nafas yang kita lakukan, mungkin hanya nafas kecurangan. Orang-orang yang menggalakkan kampanye “jangan beli
kayu bakar dari penjual kayu bakar busuk”, mungkin lebih busuk dari teman-teman saya. Bedanya, mereka punya
kesempatan, uang dan kekuasaan untuk melakukan kampanya. Mereka, para
kampanyewan, hanya sedang berperan. Peranan yang sesuai keadaan. Suatu hari
nanti, peran mereka akan berubah sesuai tuntutan zaman.
Teman-teman
saya, sekarang hanya punya parang. Dan parang tidak mampu membabat hutan.
Jadilah mereka pencuri kecil-kecilan. Suatu hari nanti, ketika parang mereka
berganti mesin mereka akan membabat hutan juga. Lalu hutan pun tandas. Apa yang
bisa saya kerjakan sebagai pencari kayu bakar? Tidak ada. Sebelum hutan tandas
dan mati kelaparan, mungkin lebih baik saya jadi buruh di perusahaan penebang
hutan. Siapa tahu lama-lama menjadi mandor. Lalu pemborong kecil-kecilan.
Akhirnya menuju muara yang sama, perusahaan penebangan hutan juga. Mungkin
awalnya berusaha secara baik-baik, memegang etika dan hukum yang berlaku. Tapi
siapa bisa menebak arah angin? Hidup di tengah para perampok pasti sulit
menjadi si baik.
Meski berat hati, saya barangkali akan mengikuti saran
anak saya, ganti pekerjaan dan hidup lebih layak. Memang tidak ada jaminan
ganti pekerjaan akan mengubah nasib. Tapi paling tidak bisa menepis rasa bosan
setelah seumur hidup menjalani pekerjaan yang
sama, nasib yang sama. Mungkin
para leluhurku akan bangkit dari kubur dan mengutuk saya. Sebab saya sudah
memutus tali rantai yang mereka bangun dengan susah payah, yang membuat mereka
dihormati di kampung ini. Saya hanya berharap, arah angin akan
berubah. Orang yang dihormati bukan
hanya yang baik dan jujur, tapi juga yang sekedar "memerankan kebaikan dan
kejujuran". Kenapa?
Zaman berubah,
nilai-nilai berubah. Ketika orang baik dan jujur semakin sulit dicari, yang
setengah baik dan setengah jujur akan dianggap si baik.Saya belum sepenuhnya
percaya pikiran saya benar atau salah. Tapi saya melihat, tanda-tanda ke arah
sana. Dan semakin hari tanda-tanda itu semakin jelas. Ah, jam berapa sekarang?
(LUGU MELIHAT MATAHARI) Kelihatannya sebentar lagi ashar. Saya harus pulang.
Cepek juga banyak bicara.
(LUGU MEMANGGUL KAYU BAKARNYA, MELANGKAH PERGI TAPI KEMBALI LAGI DAN
BERTANYA KEPADA PARA PENONTON)
Maaf,
numpang tanya. Apa di sini ada orang yang benar-benar baik dan jujur? Ada? O,
tidak ada. Kalau begitu Anda orang jujur. Selamat malam.
(LUGU MELANGKAH PULANG)
Depok,
Februari 2004